#PIKSIMENGGUGAT
Benarkah Kampus Panen Pundi ditengah Pandemi?
Sedari awal wabah covid19 menyebar, langsung memberikan dampak besar pada berbagai sektor kehidupan, yang salah satunya adalah sektor pendidikan. Dan ironinya tak hanya covid19 yang mewabah, namun kebijakan neoliberal juga sudah menjangkit ke kehidupan sosial ekonomi, tak terkecuali dalam pendidikan yang seharusnya menjadi alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang sayangnya kini sudah termodifikasi menjadi barang dagangan yang mahal untuk dijangkau.
Salah satunya kebijakan yang dikeluarkan oleh salah satu kampus di kota Bandung tepatnya di jalan Gatot Subroto, yang tak lain adalah si kampus ungu Politeknik Piksi Ganesha, yang alih-alih memberikan keringanan justru memberikan kesengsaraan. Di tengah ekonomi yang sulit, lapangan pekerjaan yang dipersempit, muncullah kebijakan yang mencekik. Dengan dikeluarkannya surat edaran yang mewajibkan kenaikan biaya dengan alasan untuk pengakuan kualitas akreditasi atau dengan istilah lain menyebut Quality Recognition ini dengan nomor surat (012/Poltek-PG/11.8/I/2021). Tak sedikit mahasiswa yang menuai penolakan. Dengan surat pernyataan sikap ”Menolak Kebijakan QR” yang mereka kirimkan ke pihak kemahasiswaan.
Belum lagi keberadaan pembiayaan program 'KSK' yang mereka beri kepanjangan Klinik Spesialis Kompetensi dan tentunya harga yang tak sepadan dengan apa yang didapatkan, dengan dalih menciptakan mahasiswa yang berkompetensi, yang sebenarnya hal tersebut akan menjadi suatu konfirmasi atas kegagalan kurikulum yang telah dibuat, karena seharusnya tanpa program KSK pun kampus harus mampu menghasilkan mahasiswa yang kompeten. Bagaimana mendekat kearah kompeten jika setiap kali pertemuan KSK diberi tugas tambahan yang hanya menambah beban pikiran? Disamping itu ada pembiayaan 'UJIKOM' atau Uji Kompetensi yang dilaksanakan secara bertahap yaitu ditingkat dasar, menengah dan akhir, dengan nominal yang tentunya semakin besar dari tahap ke tahap.
Bagaimana tidak, dimasa pandemi seperti ini, hampir semua mengalami dampak besar khususnya dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, banyak dari orang tua yang berprofesi sebagai buruh, pedagang kecil yang mengalami penurunan pendapatan harus diperburuk dengan biaya perkuliahan yang dinaikkan.
Mengingat proses belajar yang tanpa menggunakan fasilitas kampus, tidak lagi menggunakan kipas berdebu, tidak lagi menggunakan AC yang hanya menjadi pajangan dinding, tidak lagi belajar di lahan praktikum yang kurang memadai, tidak lagi menggunakan Wi-Fi yang pelan, tidak lagi menggunakan proyektor yang usang, hingga setiap tetes air di kamar mandi tidak lagi digunakan, lalu mengapa harus membayar dengan biaya yang dinaikkan atau harga yang normal dengan sistem belajar yang abnormal?
Apa yang diinginkan hanyalah keringanan biaya kuliah yang pantas dan mudah untuk dijangkau. Namun jika seperti ini kebijakan yang dikeluarkan, maka pertanyaan yang mungkin dilontarkan ‘waraskah yang mengeluarkan kebijakan?’
Melebih-lebihkan? Tidak sama sekali. Ini kenyataan. Pahit memang. Tapi kenyataan-kenyataan dan perspektif seperti ini diperlukan agar kita bisa memahami betul bagaimana kebijakan yang memang memiliki kejanggalan.
pMungkin memang benar kata seorang filsuf, yaitu Zizek yang mengatakan bahwa lebih mudah membayangkan akhir dari dunia daripada akhir dari kapitalisme.
Pejuang Kuota Pemerintah Hubungi penulis petisi